BIsmillah...
para sedulur ,Ada beberapa faham yang memvonis sesat kepada jama'ah yang bersalaman usai sholat,namun ketahuilah Mereka dibawah ini adalah sederatan imam kaum muslimin yang nama besar mereka menjadi jaminan kualitas pandangan dan keilmuannya.untuk kita jadikan sebagai rujukan...
1. Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau mengatakan dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir:
إِذَا
فَرَغَ الْإِمَامُ مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنْ كَانَ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ
رِجَالًا لَا امْرَأَةَ المصافحة بعد الصلاة فِيهِمْ وَثَبَ سَاعَةَ
يُسَلِّمُ لِيَعْلَمَ النَّاسُ فَرَاغَهُ مِنَ الصَّلَاةِ
“Jika
seorang imam sudah selesai dari shalatnya, dan jika yang shalat di
belakangnya adalah seorang laki-laki, bukan wanita, maka dia bersalaman
setelah shalat bersama mereka, dan setelah sempurna waktunya, hendaknya
dia mengucapkan salam agar manusia tahu bahwa dia telah selesai dari
shalat.” (Al Hawi Al Kabir, 2/343. Darul Fikr. Beirut - Libanon)
2. Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalam Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 660H)
Beliau memasukkan bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar sebagai bid’ah yang boleh (bid’ah mubahah). Berikut perkataannya:
والبدع
المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ
من المآكل والمشارب والملابس والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.
“Bid’ah-bid’ah mubahah
(bid’ah yang boleh) contoh di antaranya adalah: bersalaman setelah
subuh dan ‘ashar, di antaranya juga berlapang-lapang dalam hal-hal yang
nikmat berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, melebarkan
pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan baju.” (Qawaid Al Ahkam fi Mashalihil Anam, 2/173)
3. Imam An Nawawi Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 676H)
Beliau
juga berpendapat mirip dengan Imam Ibnu Abdissalam di atas. Namun,
beliau menambahkan dengan beberapa rincian. Berikut perkataannya:
وَأَمَّا
هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ
وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ
عَبْدِ السَّلَامِ رحمه
الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ
وَلَا اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ
يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ
كَمَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا
فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ
بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ
“Ada
pun bersalaman ini, yang dibiasakan setelah dua shalat; subuh dan
‘ashar, maka Asy Syaikh Al Imam Abu Muhammad bin Abdussalam Rahimahullah
telah menyebutkan bahwa itu termasuk bid’ah yang boleh yang tidak
disifatkan sebagai perbuatan yang dibenci dan tidak pula dianjurkan, dan
ini merupakan perkataannya yang bagus. Dan, pandangan yang dipilih
bahwa dikatakan; seseorang yang bersalaman (setelah shalat) dengan orang
yang bersamanya sejak sebelum shalat maka itu boleh sebagaimana yang
telah kami sebutkan, dan jika dia bersalaman dengan orang yang
sebelumnya belum bersamanya maka itu sunah, karena bersalaman ketika
berjumpa adalah sunah menurut ijma’, sesuai hadits-hadits shahih
tentang itu.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/325. 1423H-2003M. Dar ‘Aalim Al Kitab)
Dalam kitabnya yang lain beliau mengatakan;
واعلم
أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة
بعد صلاتي الصبح والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس
به، فإن أصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا
فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها، لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة
التي ورد الشرع بأصلها.
“Ketahuilah,
bersalaman merupakan perbuatan yang disunahkan dalam keadaan apa pun.
Ada pun kebiasaan manusia saat ini bersalaman setelah shalat subuh dan
‘ashar, maka yang seperti itu tidak ada dasarnya dalam syariat, tetapi
itu tidak mengapa. Karena pada dasarnya bersalaman adalah sunah, dan
keadaan mereka menjaga hal itu pada sebagian keadaan dan mereka
berlebihan di dalamnya pada banyak keadaan lain atau lebih dari itu,
pada dasarnya tidaklah keluar dari bersalaman yang ada dalam syara’.” (Al Adzkar, Hal. 184. Mawqi’ Ruh Al Islam) Lihat juga dalam kitabnya yang lain. (Raudhatuth Thalibin, 7/438. Dar Al Maktabah Al ‘ilmiyah)
4. Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i (w. 974H)
Beliau memfatwakan tentang sunahnya bersalaman setelah shalat walau pun shalat id. (Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i, 4/224-225. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul Kutub Al ‘Ilmiah, Beirut - Libanon)
Dalam kitabnya yang lain beliau berkata:
وَلَا
أَصْلَ لِلْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَلَكِنْ
لَا بَأْسَ بِهَا فَإِنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ الْمُصَافَحَةِ ، وَقَدْ حَثَّ
الشَّارِعُ عَلَيْهَا
“Tidak
ada dasarnya bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar, tetapi itu
tidak mengapa, karena itu termasuk makna global dari bersalaman, dan Asy Syaari’ (pembuat syariat) telah menganjurkan atas hal itu.” (Tuhfatul Muhtaj, 39/448-449. Syamilah)
5. Imam Al Muhib Ath Thabari Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau termasuk ulama yang menyunnahkan bersalaman setelah shalat, dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari berikut:
Dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
خَرَجَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى
الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ
رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ
عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ
كَانَ
يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا
يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ
بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ
الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنْ الْمِسْكِ
`
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
keluar pada saat siang yang panas menuju Al Bath-ha’, beliau berwudhu
kemudian shalat zhuhur dua rakaat, dan ‘ashar dua rakaat, dan
ditangannya terdapat sebuah tombak.” Syu’bah mengatakan, dan ‘Aun
menambahkan di dalamnya, dari ayahnya, dari Abu Juhaifah, dia berkata:
“Dibelakangnya lewat seorang wanita, lalu manusia bangun, mereka merebut
tangan nabi, lalu mereka mengusap wajah mereka dengan tangan beliau.
Abu Juhaifah berkata: aku pegang tangannya lalu aku letakan tangannya
pada wajahku, aku rasakah tangannya lebih sejuk dari salju, lebih wangi
dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari No. 3360, Ad Darimi No. 1367, Ahmad No. 17476)
Al Muhib Ath Thabari Rahimahullah mengomentari hadits ini;
ويستأنس
بذلك لما تطابق عليه الناس من المصافحة بعد الصلوات في الجماعات لا سيما
في العصر والمغرب إذا اقترن به قصد صالح من تبرك أو تودد أو نحوه
“Demikian
itu disukai, hal ini lantaran manusia telah berkerumun untuk bersalaman
dengannya setelah melakukan shalat berjamaah, apalagi ‘ashar dan
maghrib, hal ini jika persentuhannya itu memiliki tujuan baik, berupa
mengharapkan berkah dan kasih sayang atau semisalnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 37/362. Maktabah Al Misykah)
6. Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah
Dalam kitab Fatawa-nya tertulis:
(
سُئِلَ ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ
الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا
يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ
لَهَا ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا
(Ditanya) tentang apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat, apakah itu sunah atau tidak?
(Beliau
menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman
setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak mengapa.” (Fatawa Ar Ramli, 1/385. Syamilah)
7. Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al Hanafi Rahimahullah
Beliau berkata ketika membahas tentang shalat Id:
وَالْمُسْتَحَبُّ
الْخُرُوجُ مَاشِيًا إلَّا بِعُذْرٍ وَالرُّجُوعُ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ
عَلَى الْوَقَارِ مَعَ غَضِّ الْبَصَرِ عَمَّا لَا يَنْبَغِي
وَالتَّهْنِئَةِ بِتَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ ؛ لَا تُنْكَرُ
كَمَا فِي الْبَحْرِ وَكَذَا الْمُصَافَحَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ عَقِيبَ
الصَّلَاةِ كُلِّهَا وَعِنْدَ الْمُلَاقَاةِ كَمَا قَالَ بَعْضُ
الْفُضَلَاءِ
“Disunahkan
keluar menuju lapangan dengan berjalan kecuali bagi yang uzur dan
pulang melalui jalan yang lain dengan berwibawa dan menundukkan
pandangan dari yang dilarang, dan menampakan kegembiraan dengan ucapan:
taqabballallahu minna wa minkum, hal ini tidaklah diingkari sebagaimana
dijelaskan dalam kitab Al Bahr, demikian juga bersalaman bahkan itu adalah sunah dilakukan seusai shalat seluruhnya, dan ketika berjumpa sebagaimana perkataan sebagian orang-orang utama.” (Majma’Al Anhar fi Syarh Multaqa Al Ab-har, A2/59. Mawqi’ Al Islam)
8. Imam Al Hashfaki Al Hanafi Rahimahullah
Beliau mengatakan;
أي
كما تجوز المصافحة لانها سنة قديمة متواترة لقوله عليه الصلاة والسلام: من
صافح أخاه المسلم وحرك يده تناثرت ذنوبه وإطلاق المصنف تبعا للدرر والكنز
والوقاية والنقاية والمجمع والملتقى وغيرها يفيد جوازها مطلقا ولو بعد
العصر، وقولهم إنه بدعة: أي مباحة حسنة كما أفاده النووي في أذكاره
“Yaitu sebagaimana dibolehkannya bersalaman, karena itu adalah sunah sejak dahulu dan mutawatir, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Barangsiapa yang bersalaman dengan saudaranya muslim dan menggerakan tangannya maka dosanya akan berguguran.
Penulis telah memutlakan kebolehannya sebagaimana pengarang Al Kanzu,
Al Wiqayah, An Niqayah, Al Majma’, Al Multaqa dan selainnya, yang membolehkan bersalaman secara mutlak walau setelah ‘ashar, dan perkataan mereka: bid’ah, artinya adalah boleh lagi baik sebagaimana yang dijelaskan An Nawawi dalam Al Adzkarnya.” (Imam Al Hashfaki, Ad Durul Mukhtar, 5/699. Mawqi’ Ya’sub)
9. Syaikh ‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir)
Beliau
menjelaskan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah sunah ketika seorang
muslim bertemu muslim lainnya, berdasarkan hadits-hadits nabi yang bisa
dijadikan hujjah. Namun bersalaman setelah shalat tidaklah dilakukan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat.
Lalu beliau memaparkan perbedaan ulama tentang masalah ini, antara yang
membid’ahkan, menyunnahkan, dan membolehkan; seperti pendapat Imam Ibnu
Taimiah, Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu
Hajar. Lalu beliau menyimpulkan:
والوجه
المختار أنها غير محرمة ، وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر
الله به السيئات ، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور ….
“Pendapat
yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah
termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah
Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti
ini jangan terus menerus diributkan. … (Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, 8/477. Syamilah).
Dan masih banyak ulama lainnya.
jika mereka tdk setuju dengan rujukan ini maka akan timbul dari saya pertanyaan ,lebih faham dan alim manakah mereka dengan ulama yang di sebut di atas???
semoga menjadi asbab dan manfa'at untuk sedulur...
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !